TEMPO.CO, Jakarta - Manchester United yang sudah mencatat tujuh kali kemenangan beruntun di bawah manajer sementara, Ole Gunnar Solskjaer, akan menghadapi Arsenal dalam partai big match babak keempat Piala Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA), Sabtu dinhari mendatang, 26 Januari 2019.
Meski di klasemen Liga Primer Inggris masih terpaku di urutan keenam setelah menyelesaikan 23 dari 38 pertandingan semusim, kemajuan Manchester United di bawah Ole Gunnar Solskjaer, ini sangat terasa.
Sebelumnya, di bawah asuhan manajer Jose Mourinho, yang karier kepelatihannya jelas jauh mentereng dibandingkan Solksjaer, para pemain Manchester seperti bermain penuh tekanan.
Prestasi Manchester United di bawah asuhan Mourinho terus-menerus kalah sampai pelatih asal Portugal ini dipecat dan digantikan Solskjaer sebagai manajer sementara sampai akhir musim ini.
Pengalaman sebagai pemain, terutama semasa membela Manchester United, tak menjamin Ole Gunnar Solksjaer sukses sebagai manajer. Pelatih asal Norwegia ini bahkan dipecat Cardiff City sebelum kembali ke negaranya.
Banyak pelatih yang sukses sebagai manajer tanpa harus menjadi pengalaman lebih dulu, termasuk Jose Mourinho.
Tapi, pada saat-saat tertentu, pendekatan sebagai mantan pemain tampaknya lebih mujarab buat membangkitkan Manchester United, yang seperti terbelenggu di bawah keegoan Jose Mourinho.
Pelatih-pelatih besar sering memiliki ego yang sangat tinggi dan memiliki filosofi tentang sepak bola yang mengatasi lebih dari sekadar menang kalah. Hal ini termasuk Jose Mourinho, meski sepak bolanya sering disebut sepak bola negatif. Istilah parkir bus di depan gawang kerap dialamatkan untuk mengejek Mourinho.
Tapi, sepak bola bagi orang-orang seperti Mourinho itu memang seperti “agama” tersendiri. Simak ketika ia mengatakan bahwa sejak Desember 2018 –setelah dipecat-, ia sudah menolak tiga tawaran.
Mourinho dipecat Manchester United karena dinilai tidak menghasilkan kemajuan dalam hasil, gaya bermain, dan pengembangan pemain muda.
Mantan bintang Manchester United, Gary Neville, mengamini pendapat tersebut. “Gary Neville tidak tahu filosofi saya,” kata Mourinho.
“Filosofi saya tergantung apakah saya menyukai sebuah klub dan memiliki kondisi yang sama dengan Jurgen Klopp (di Liverpool) dan manajer Pep Guardiola (Manchester City),” Mourinho melanjutkan. “Saya menolak tiga tawaran (setelah dipecat United) karena saya tidak merasa (tiga tawaran) itu adalah apa yang saya inginkan.”
Manajer-manajer besar seperti Alex Ferguson dan mendiang Johan Cruyff di Barcelona juga unik. Selain sebagai mantan bintang pemain, Johan Cruyff terkenal dengan ego yang tinggi tentang satu pandangan sepak bola yang diyakininya.
Johan Cruyff misalnya pernah membuat bintang Inggris, Gary Lineker, tak bisa berkembang di Barcelona, karena kerap mematok Lineker di sayap dan bukan sebagai ujung tombak.
Pep Guardiola, yang juga mantan bintang pemain, semasa menjadi manajer Barcelona membuat ujung tombak dari Swedia, Zlatan Ibrahimovic, uring-uringan dan kemudian hengkang.
Setiap manajer mempunyai pilihan masing-masing termasuk Ole Gunnar Solskjaer di Manchester United yang lebih mengedepankan Marcus Rashford sebagai penyerang tengah dibanding Romelu Lukaku.
Di bawah “rezim” Mourinho, Marcus Rashford, yang disebut-sebut sebagai bintang masa depan Inggris, tak berkembang. Karena itu, ada seorang pengamat di Inggris yang mengatakan selama Mourinho di Manchester United, Rashford tak akan pernah bisa tumbuh menjadi penyerang Inggris yang besar.
Untuk sementara Ole Gunnar Solskjaer lebih sederhana tapi justru hadir tepat: melepaskan belenggu psikologis yang membebani Rashford dan kawan-kawan di Manchester United.
Namun, sebenarnya di balik kesan kesederhanaan metode pendakatan Ole Gunnar Solskjaer di Manchester United –mainlah dengan rasa senang dan teruslah menyerang-, pasti ada filosofi yang dipegangnya. Ia dikabarkan sering bertemu dengan Sir Alex Ferguson. Ia mungkin akan membawa mazhab lain di Manchester United jika dipertahankan dan kelak dinaikkan statusnya sebagai manajer tetap musim depan. Dan, bila itu terjadi, terbuka kemungkinan ada pemain yang “dikorbankan” meski punya skill yang istimewa.